Komunikasi Produktif Hari ke 14: Mengelola kesedihan

"Innalillahi wainnailaihi roojiun, telah meninggal dunia adinda kita .... dst." Sebuah pesan WA dari paman saya muncul dinotifikasi. Ya Allah, salah satu paman saya meninggal dunia hari ini. Padahal belum juga genap 40 hari, paman saya yang satunya pun sudah terlebih dahulu menghadap illahi.

Berita kematian serasa datang berkali-kali dan seringnya mendadak. Beberapa hari yang lalu seorang sahabat saya di kampung halaman juga dikabarkan meninggal dunia. Juga tiba-tiba. Mungkin karena berita duka yang berturut turut ini, rasanya berita duka kali ini lebih terasa menyesakkan dan membuat badan serasa lemas.

Di tengah suasana hati yang sedang berduka, terlihat suami yang sepertinya biasa saja. Hanya di awal kami mendapat kabar, dia terlihat kaget dengan berita ini, tapi selanjutnya biasa saja. Menghibur saya pun tidak. Akhirnya, saya beranikan diri untuk menanyakan hal ini padanya.

"Mas, coba pegang tanganku" sambil saya lihat wajahnya dan saya sodorkan tangan untuk dipegangnya. Suami menyambutnya.
"Mas kok kayaknya cuek aja mas. Aku sedih mas, pamanku meninggal. Mas ngga bisa ngerasain ya yang aku rasakan?" 
Suami hanya tersenyum sambil melihat saya.
"Kamu malam ini istirahat yang cukup ya. Kamu mau minum?" Tanyanya.
"Iya, mau mas." Jawab saya.
Kemudian suami membawakan segelas air putih untuk saya dan melanjutkan.

"Bukan, bukan cuek. Sedih, iya tentu sedih. Tapi, kita juga harus tahu bahwa akan ada fase kesedihan yang (semoga tidak terjadi) mungkin lebih dari ini yang kita juga harus selalu bersiap menghadapinya."

"Mungkin selanjutnya kita akan menghadapi berita kematian dari orang yang lebih dekat, seperti orang tua, adik kakak, bahkan anak atau pasangan. Dan, bisa jadi mungkin lebih menyakitkan. Kalau di satu fase kesedihan kita sudah habiskan energi kita dan terpuruk. Maka, di fase kesedihan selanjutnya (yang semoga tidak terjadi) bisa jadi kita akan semakin jatuh terpuruk.

Saya hanya bisa terdiam. Diingatkan lagi tentang mengatur ketakutan dan kesedihan. Khususnya di pandemi ini, rasanya kematian seolah melangkah menghampiri lebih cepat. Hari ini mendengar berita kematian. Belum juga pulih benar dari rasa sedih yang mendera, sudah harus mendapat berita kematian yang membuat sedih lagi. Di sinilah terasa penting, untuk belajar terus mengatur porsi rasa takut dan sedih.

Sekali lagi, bukan berarti menolak sedih. Kita tetap bersedih sesuai fitrah diri. Tapi, belajar memberikan porsi yang sesuai, agar membuat kita lebih kuat menghadapi dan bisa cepat melangkah lagi melewati fase sedih yang sedang di hadapi. Karena bisa jadi ada fase sedih yang juga semakin mendekat menghampiri lagi.

Berusaha terus mengingat dan menyadarkan diri: selama kita masih bisa merasakan sedih, maka ada kehidupan di depan mata yang juga sedang menanti untuk terus dilalui. Salah satunya ini, Aisyah yang menanti ibunya ceria kembali.

***********************

No comments