Amunisi Mengatasi Emosi Anak


 

"Aku ngga mau makan ini Ma!"

"Aku mau main di luar terus!"

"Ah roboh lagi, aku ngga mau main lego!" (sambil melempar legonya)

Pernah tidak Parents menghadapi anak seperti itu? Pastinya, sering ya. Bahkan menjadi santapan sehari-hari kita sebagai orang tua. 

Saat ini saya memiliki anak usia 2 tahun yang juga sudah mulai memiliki keinginan kuat dan emosi yang mudah meledak. Sebagai orang tua, apa yang dilakukan saat menghadapi anak yang sedang emosi? Semula saya akan mencoba sebisa mungkin menasihatinya atau bahkan seringkali kita terjebak juga dengan emosi kita yang juga meledak-ledak. Akhirnya, alih-alih emosi anak mereda malah makin kacau karena semuanya emosi. Fiuuh.

Sebagai orang tua, saya cenderung menolak perasaan dan emosi negatif anak dan terburu-buru ingin mengoreksi serta membenarkan perilaku mereka. Padahal, anak tidak akan bisa bersikap baik jika perasaannya sedang tidak baik.

Sebenarnya kondisi anak ketika emosi itu sama dengan kondisi ketika kita, sebagai orang dewasa, juga sedang emosi. Yaitu sama-sama ingin dimengerti dan diakui apa yang sedang dirasakan. Coba kita tanya pada diri sendiri, ketika sedang emosi atau marah, perasaan kita sedang tidak baik, apakah kita bisa menerima nasihat yang panjang?

Misalnya, ketika saya sedang kesal dan marah dengan seseorang. Kemudian bercerita kekesalan pada pasangan dan dia berkata "Sudahlah, jangan marah-marah, wajar orang itu pasti ada kekurangannya. Kamu harus bisa mengerti juga bagaimana teman kamu!" Apa yang kita rasakan ketika mendengar nasihat itu? Tentu saja semakin kesal dan memilih tutup telinga ya. Coba bandingkan jika dia menanggapi seperti ini: "Wah iya, pasti kesal sekali ya rasanya.." perasaan kita akan lebih baik, karena merasa ada yang mengerti apa yang kita rasakan. Setelahnya, akan lebih mudah untuk menerima pandangan atau nasihat.

Setelah membaca berbagai literatur seputar parenting dan belajar dari pengalaman, saya pun mulai menyadari bahwa ternyata anak juga ingin dimengerti apa yang sedang mereka rasakan saat itu. Saya jadi ingat ketika anak saya tantrum marah karena memasang lego tinggi kemudian roboh. Saya mencoba menenangkannya dengan mengatakan "Nggak apa-apa.. yuk kita pasang lagi, nanti pasti jadi lagi menaranya." Lalu apa respon anak saya? dia malah menangis semakin kencang dan melempar legonya. Ternyata, memang mustahil anak akan berfikir "Ah iya ibu benar, legonya bisa disusun lagi, aku harus semangat." Tidak. Ketika sedang emosi, anak tidak mungkin bisa berfikir positif.

Lalu apa yang bisa dilakukan? Yang bisa dilakukan adalah mengakui perasaan anak saat itu. Dengan mengakui perasaan anak, maka mereka akan merasa lebih dihargai dan dimengerti apa yang sedang mereka rasakan, dan tentunya mereka juga bisa belajar mengenal emosi yang mereka rasakan. 

Nah, berikut ini ada beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk mengakui perasaan anak-anak ketika mereka emosi dan saya sertakan juga beberapa contoh kasus yang pernah saya alami bersama anak saya.

1. Mengakui perasaan dengan kata-kata

Sebelum mengakui perasaan ini dengan kata-kata, tentunya sebelumnya kita harus bisa paham dan mengerti apa yang sedang dirasakan anak. Dan, untuk bisa mengerti apa yang dirasakan anak, sebisa mungkin orang tua tidak terpancing emosi dan menahan diri untuk tetap memberikan respon positif.

Mirip dengan contoh kasus sebelumnya, anak saya emosi ketika balok-balok yang disusunnya vertikal dan cukup tinggi tiba-tiba roboh. Dia berteriak dan marah. Lalu saya coba menahan diri untuk tidak menasehatinya. Saya memilih untuk menyampaikan "Yah, baloknya roboh.. Aisyah (nama anak saya) pasti kesal ya balok-baloknya jatuh.. huhuhu" lalu anak saya melihat saya dan menjawab "iya.." saya melihat sorot matanya tidak se-menyala tadi. Lalu saya sampaikan lagi sambil menyusun dua balok "eh, ternyata bisa disusun lagi.. yey.. kita coba lagi yuk.. Aisyah mau susun di atasnya?" Dan, anak saya pun ikut menyusun baloknya lagi. 

Wah, ternyata dengan mencoba mengakui perasaan dengan kata-kata bisa membantu anak memahami emosinya, yang selanjutnya dia pun bisa mencoba mengatasi emosinya sendiri.

2. Mengakui perasaan dengan aktivitas

Mengakui perasaan dengan aktivitas ini bisa dilakukan dengan mengajak anak beraktivitas sesuai dengan yang dirasakan saat itu. Seperti menggambar wajah sedang menangis atau marah, meremas atau merobek kertas, dan yang lainnya. Ya intinya tidak hanya dengan kata-kata, tapi juga melalui aktivitas.

Contoh kasus yang pernah saya alami adalah ketika anak saya marah tidak mau memakai baju apa pun selain baju kupu-kupu. Tapi saat itu baju kupu-kupu miliknya masih dijemur dan belum kering. Dia berteriak tidak mau memakai baju. Jika sebelumnya, saya akan paksa supaya dia mau pakai bajunya, tentunya dengan diiringi tangisannya yang kencang. Kali ini saya pun mencoba cara lain. Saya sampaikan padanya,

"Aisyah suka ya baju kupu-kupu? inginnya pakai baju kupu-kupu ya?"

"Iya" jawabnya sambil kesal

"Aisyah marah yah karena baju kupu-kupunya masih basah belum bisa dipakai?"

"Iya." jawabnya dengan nada masih kesal.

"Aisyah kalau marah itu begini nih. huh.. huh.. huh.." sambil memukul-mukul kasur.

Aisyah kemudian mengikuti gerakan saya.

"Iya, begitu ya kalau lagi marah?" tanya saya.

"huh.. huh.. huh.." jawabnya sambil memukul kasur. 

Kemudian dia pun terlihat lebih baik, dan selanjutnya bisa diajak kerjasama untuk memakai baju yang ada. 

Untuk anak berusia lebih tua, kita juga bisa coba dengan mengajaknya untuk membuat gambar orang yang sedang marah, kemudian kita tambahan ekspresi sesuai dengan yang dirasakannya, misalnya dengan air mata berlinang atau air mata yang deras. Cara ini akan membuat kondisi anak lebih tenang.

3. Mengakui perasaan dengan membuat kisah fantasi

Cara yang ketiga ini adalah dengan membuat kisah fantasi dengan apa yang sedang terjadi. Seperti yang pernah saya alami. Saat itu anak saya menolak menggosok gigi ketika mandi. Saya sudah mencoba merayunya tetapi tetap tidak berhasil. Bahkan dia mulai terlihat kesal. Lalu, saya coba membuat kisah fantasi.

"Hai, Aisyah namaku sikat gigi.. wah,, kamu sedang mandi ya?" ucap saya dengan nada kecil sambil memegang sikat gigi dan saya gerak-gerakkan seperti sedang bicara. Dan, Aisyah tertarik dengan aksi saya.

"Hmm.. aku ingin sekali main ke mulut Aisyah untuk melihat ada tidak ya kuman di sana?" lanjut saya. Aisyah masih fokus melihat sikat gigi yang sedang berbicara.

"Aisyah mau buka mulutnya biar aku bisa lihat kumannya? biar bisa kita basmi kalau ada." 

Aisyah terlihat tertarik dan mulai tersenyum. Lalu dia pun mau membuka mulutnya dan memegang sikat giginya sendiri untuk digosokkan ke giginya.

Itulah Parents, tiga amunisi yang pernah dan biasanya saya lakukan ketika menghadapi anak dengan perasaan yang kurang baik. Semoga dengan berusaha mengakui perasaan anak akan membantu mereka memahami dan mengendalikan perasaannya, sehingga emosinya pun bisa teratasi dengan baik tanpa meninggalkan luka-luka dalam hati anak kita. Selamat mencoba!

No comments